Login to Facebook
1. تَعَلَّمُوْاالْعِلْمَ ، فّإِنَّ تَعَلُّمُهُ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَتَعْلِيْمَهُ لِمَن ْ لاَ يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ ، وَإِنَّ الْعِلْمَ لَيَنْزِلُ بِصَاحِبِهِ فِى مَوْضِعِ الشَّرَفِ وَالرِّفْعَةِ ، وَالْعِلْمُ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ . (الربيع) “Tuntutlah ilmu,sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.” (HR. Ar-Rabii’)2. يَا أَبَاذَرٍّ ، لَأَنْ تَغْدَوْا فَتُعَلِّمَ اَيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَّكَ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ ، وَلَأَنْ تَغْدُوْا فَتُعَلِّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ عُمِلَ بِهِ اَوْ لَمْ يُعْمَلْ ، خَيْرٌ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ . (ابن ماجة) “Wahai Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah telah baik bagimu dari pada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat seribu rakaat.” (HR. Ibn Majah) 3. تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ وَتَعَلَّمُوْا لِلْعِلْمِ السَّكِيْنَةَ وِالْوَقَارَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ . (الطبرانى) “Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.” (HR. Al-Thabrani)4. لاَ تَعَلَّمَوْ ا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوْا بِهِ الْعُلَمَاءَ ، وَلاَ لِتُمَارُوْا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَجْتَرِثُوْابِهِ فِى الْمَجَالِسِ اَوْ لِتَصْرِفُوْا وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْكُمْ ، فَمَنْ فَعَلَ ذَالِكَ فَالنَّارَ فَالنَّارَ . (الترمذى وابن ماجة) “Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam mejelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka…neraka. (HR. Al-Tirmidzi dan Ibn Majah) 5. مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا ، سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طِرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ . (أبو داود) “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surge.” (HR. Muslim) 6. مُجَالَسَةُ الْعُلَمَاءِ عِبَادَةٌ . (الديلمى ) “Duduk bersama para Ulama adalah ibadah.” (HR. Al-Dailami) 7. إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ، قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهِ ، وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ : مَجَالِسُ الْعِلْمِ . (الطبرانى) “Apabila kamu melewati taman-taman surge, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya,”Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi SAW menjawab,”majelis-majelis ta’lim.” (HR. Al-Thabrani) 8. مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ . (أبو داود) “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dirahasiakannya maka dia akan dating pada hari kiamat dengan kendali (di mulutnya) dari api neraka.” (HR. Abu Dawud) 9. اَلْعَالِمُ إِذَا أَرَادَ بِعِلْمِهِ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى هَابَهُ كَلُّ شَيْئٍ ، وَاِذَا اَرَادَ أَنْ يَكْنِزَ بِهِ الْكُنُوْزَ هَابَ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ . (الديلمى) “Seorang alim apabila menghendaki dengan ilmunya keridhoan Allah maka ia akan ditakuti oleh segalanya, dan jika dia bermaksud untuk menumpuk harta maka dia akan takut dari segala sesuatu.” (HR. Al-Dailami)
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين ؛ نبينا محمد وعلى آله وصحبه ؛ ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين . وبعد
Photobucket

Hafalan Al-Qur’an Menjadi Mahar dalam Pernikahan


Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Aku nikahkan kamu dengan dia dengan mahar apa yang ada padamu dari Al-Qur`an.”

Hadits ini diriwayatkan oleh:

Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. hadits 21733, 21783;

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Wakalah no. hadits 2310, Kitab Fadhailul Qur`an no. hadits 5029, no. hadits 5030, Kitabun Nikah no. hadits 5087, 5121, 5126, 5135, 5141, 5149, 5150;

Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 1425;

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabun Nikah ‘an Rasulillah no. hadits 1023;

Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 3228, 3306;

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 1806;

Al-Imam Ibnu Majah rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 1879;

Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 968;

Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Kitabun Nikah no. hadits 2104.

Adapun kelengkapan hadits di atas dalam Shahih Al-Bukhari Kitabun Nikah no. 5149:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ يَقُولُ: إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا، ثُمَّ قَامَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا ثُمَّ قَامَتِ الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ: إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَذَهَبَ فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia berkata: Sesungguhnya aku berada pada suatu kaum di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba berdirilah seorang wanita seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah dia, bagaimana menurutmu.”1 Beliau pun diam dan tidak menjawab sesuatupun. Kemudian berdirilah wanita itu dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah dia, bagaimana menurutmu.” Beliaupun diam dan tidak menjawab sesuatupun. Kemudian ia pun berdiri untuk yang ketiga kalinya dan berkata: “Sesungguhnya ia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikan dia, bagaimana menurutmu.” Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” Beliaupun menjawab: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Ia berkata: “Tidak.” Kemudian beliaupun berkata: “Pergilah dan carilah (mahar) walaupun cincin dari besi.” Kemudian iapun mencarinya dan datang kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata: “Saya tidak mendapatkan sesuatupun walaupun cincin dari besi.” Maka Rasulullah bersabda: “Apakah ada bersamamu (hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia berkata: “Ada, saya hafal surat ini dan itu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah, telah aku nikahkan engkau dengan dia dengan mahar berupa Al-Qur`an yang ada padamu.”

Jalur Periwayatan Hadits

Hadits ini bermuara pada Abu Hazim Salamah bin Dinar Al-A’raj Al-Madani. Adapun para rawi yang meriwayatkan dari beliau yaitu Sufyan bin ‘Uyainah, Malik bin Anas, Ya’qub bin Abdurrahman, Hammad bin Zaid, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi, Za`idah bin Qudamah Abu Ash-Shalt, Abdul ‘Aziz bin Abi Hazim Abu Tamam, Abu Ghassan Al-Madani Muhammad bin Mutharrif, dan Fudhail bin Sulaiman An-Numairi.

Makna dan Faedah Hadits

 Kalimat:

إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

“Sesungguhnya aku berada pada suatu kaum di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba berdirilah seorang wanita.”

Pada riwayat Fudhail bin Sulaiman terdapat lafadz:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم جُلُوسًا فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ

“Tatkala kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, datanglah kepada beliau seorang wanita.”

Pada riwayat Hisyam bin Sa’d dengan lafadz:

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَتَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ

“Tatkala kami berada di sisi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, datanglah kepada beliau seorang wanita.”

Dan demikianlah keumuman riwayat menggunakan lafadz “Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Apabila dilihat secara zhahir, riwayat ini bertentangan dengan riwayat dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah yang menggunakan lafadz:

إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ

“Ketika berdiri seorang wanita.”

Yang mana, kemungkinan makna قَامَتْ di sini adalah وَقَفَتْ, artinya “berhenti berdiri menghadap” maksudnya adalah dia datang hingga berhenti berdiri di tengah-tengah mereka, bukan sebelumnya duduk di majelis kemudian berdiri.

Dan pada riwayat Sufyan Ats-Tsauri yang diriwayatkan oleh Al-Isma’ili disebutkan:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

“Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang berada di masjid.”

Riwayat ini menerangkan tempat kejadian kisah ini, yaitu di masjid.

Adapun nama wanita dalam kisah ini, Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Saya belum menemukan siapa namanya. Disebutkan dalam kitab Al-Ahkam karya Ibnu Al-Qasha’, wanita itu bernama Khaulah bintu Hakim atau Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha. Jika demikian, nama ini diperoleh dari penukilan wanita yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tersebut dalam tafsir surat Al-Ahzab ayat 50:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ

“Dan perempuan beriman yang menghibahkan dirinya kepada Nabi.”

Dalam Kitab Tafsir, hadits no. 4788, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan: “Yang nampak, wanita yang menghibahkan (menawarkan diri) itu lebih dari satu orang.” Namun beliau memastikan bahwa wanita yang menawarkan diri dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah Khaulah bintu Hakim radhiyallahu ‘anha, meskipun ada yang mengatakan ia adalah Ummu Syarik atau Fathimah bintu Syuraih. Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah Laila bintu Hathim atau Zainab bintu Khuzaimah, dan dalam riwayat yang lain Maimunah bintul Harits. (Fathul Bari 8/646 dan 9/250)

 Kalimat:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ

“Ia berkata: ‘Sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu’.”

Dalam riwayat lain terdapat lafadz:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي

“Ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu’.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara ini menjadi dalil atas bolehnya seorang wanita menghibahkan dirinya sebagai ganti atas mahar dalam pernikahan. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan perempuan beriman yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang beriman.” (Al-Ahzab: 50)

Para sahabat kami (yakni pengikut mazhab Syafi’iyah) berkata bahwa ayat dan hadits ini menjadi dalil dalam masalah tersebut (penghibahan diri seorang wanita). Maka, apabila seorang wanita telah menghibahkan dirinya untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menikahinya tanpa mahar, yang demikian itu halal (sah) untuk beliau. Tidak ada kewajiban sama sekali atas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu untuk membayar maharnya. Berbeda dengan selain beliau, karena pernikahannya tetap diwajibkan untuk membayar mahar sebagaimana telah disebutkan.

Tentang perihal keabsahan akad nikah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafadz ‘hibah’ terdapat dua pendapat:

- Ada yang mengatakan sah sesuai dengan ayat dan hadits di atas.

- Ada yang berpendapat tidak sah, bahkan akad nikah tidak sah kecuali dengan lafadz tazwij atau inkah. Tidaklah sah akad nikah, kecuali dengan salah satu dari dua kalimat tersebut. (Al-Minhaj, 9/215)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Pada lafadz penghibahan terdapat dalil bahwasanya menghibahkan diri dalam pernikahan merupakan kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan ucapan para sahabat ketika ingin menikahi wanita yang telah menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Nikahkanlah saya dengannya.” Mereka tidak mengatakan: “Hibahkanlah dia untuk saya.” Juga berdasarkan ucapan wanita tersebut: “Aku telah menghibahkan diriku untukmu.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar atas perkara itu. Hal ini menjadi bukti tentang bolehnya perkara ini khusus bagi beliau. Juga didukung dengan ayat:

خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang beriman.” (Al-Ahzab: 50) [Fathul Bari, 9/254-255]

 Lafadz:

فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا

“Dan beliau tidak memberi jawaban sesuatupun.”

Pada riwayat Ma’mar, Ats-Tsauri, dan Za`idah menggunakan lafadz:

فَصَمَتَ

“Beliau diam.”

Adapun pada riwayat Ya’qub, Ibnu Abi Hazim, dan Hisyam bin Sa’d dengan lafadz:

فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ

“Beliau melihat bagian atas dan bawahnya.”

An-Nawawi rahimahullahu berkata: فَصَعَّدَ bermakna رَفَعَ artinya menengadahkan pandangan (melihat bagian atas). Adapun صَوَّبَهُ bermakna خَفَضَ artinya menundukkan (melihat bagian bawah). Setelah itu beliau menundukkan kepala, terdiam, dan tidak memberikan jawaban. Dalam hal ini terdapat dalil bolehnya melihat seorang wanita yang akan dinikahi, walaupun dengan memerhatikan keadaan dirinya secara saksama.

 Lafadz:

فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَنْكِحْنِيهَا

“Lalu berdiri seorang laki-laki dan berkata: ‘Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya’.”

Pada riwayat Fudhail bin Sulaiman terdapat tambahan “dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Saya tidak mengetahui siapa nama sahabat tersebut. Namun dalam riwayat Ma’mar dan Ats-Tsauri yang diriwayatkan Al-Imam Ath-Thabarani rahimahullahu disebutkan: “Berdirilah seorang laki-laki, saya kira dia dari kaum Anshar.”

Adapun pada riwayat Za`idah: “Telah berdiri seorang laki-laki dari kaum Anshar dan ia berkata: ‘Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya’.”

Pada riwayat Malik rahimahullahu dengan lafadz:

زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ

“Nikahkanlah saya dengannya jika engkau tidak berkeinginan terhadapnya.”

 Lafadz:

قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ

“Beliau berkata: ‘Apakah engkau memiliki sesuatu?’.”

Dalam riwayat Malik terdapat tambahan: “Sesuatu yang dapat kamu (berikan) kepadanya sebagai mahar?” Iapun menjawab: “Tidak.”

Dalam riwayat Ya’qub dan Ibnu Abi Hazim: Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”

Sedangkan pada riwayat Hisyam bin Sa’d dengan lafadz: “Rasulullah berkata: ‘Harus ada sesuatu (mahar) untuknya’.”

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa seorang laki-laki berkata: “Jika seorang wanita ridha dengan saya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya: “Apa maharnya?” Ia menjawab: “Saya tidak punya sesuatupun.” Beliau berkata: “Carilah mahar untuknya, sedikit atau banyak.” Ia berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak punya apa-apa.”

 Lafadz:

اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

“Pergi dan carilah, walaupun sebuah cincin dari besi.”

An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Di sini terdapat dalil bahwa nikah tidak sah kecuali dengan adanya mahar. Karena hal ini merupakan jalan keluar dari perselisihan, lebih bermanfaat bagi wanita dari sisi andaikata terjadi perceraian sebelum ia menggaulinya, wajib atasnya separuh dari mahar yang telah disebutkan. Kalaupun dilakukan akad nikah tanpa mahar, maka sah nikahnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (Al-Baqarah: 236)

Pada lafadz ini terdapat dalil tentang bolehnya mahar itu sedikit atau banyak dari sesuatu yang berupa harta jika terjadi keridhaan pada kedua belah pihak. Karena cincin besi menunjukkan harta yang paling sedikit. Dan inilah pendapat mayoritas ulama dahulu dan sekarang, sebagaimana dinyatakan oleh Rabi’ah, Abu Zinad, Ibnu Abi Zaid, Yahya bin Sa’id, Laits bin Sa’d, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Muslim bin Khalid Az-Zanji, Ibnu Abi Laila, Dawud, dan ahli fiqih dari kalangan ahlul hadits serta Ibnu Wahab.

Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Inilah mazhab atau pendapat seluruh ulama penduduk Hijaz, Bashrah, Kufah, Syam dan selain mereka, bahwa boleh bentuk mahar apapun selama dengannya terjadi keridhaan dari kedua belah pihak, walaupun sedikit. Seperti cambuk/cemeti, sandal, cincin besi, dan semisalnya.”

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Paling sedikit seperempat dinar seperti batasan hukuman bagi orang yang mencuri.” Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata: “Pendapat ini termasuk pendapat yang Al-Imam Malik rahimahullahu menyendiri padanya.”

Abu Hanifah rahimahullahu dan pengikutnya berkata: “Sedikitnya sepuluh dirham.” Ibnu Syubrumah rahimahullahu berkata: “Paling sedikit lima dirham, seperti batasan dipotongnya tangan bagi seorang yang mencuri.”

Dalam perkara pernikahan, An-Nakha’i rahimahullahu tidak menyukai mahar yang kurang dari 42 dirham. Terkadang beliau mengatakan kurang dari sepuluh (dirham).

Semua pendapat ini selain pendapat jumhur, merupakan pendapat yang menyelisihi As-Sunnah. Pendapat mereka terbantah dengan hadits yang shahih serta jelas ini.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil atas pendapat yang menyatakan bolehnya memakai cincin dari besi walaupun di dalamnya terdapat perselisihan di kalangan ulama salaf, sebagaimana yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi rahimahullahu. Di kalangan Syafi’iyah ada dua pendapat, dan yang paling benar dari keduanya adalah pendapat yang membolehkan, karena hadits yang melarang dalam hal ini lemah.

Juga disunnahkan untuk menyegerakan dalam menyerahkan mahar kepada calon istri.

 Lafadz:

هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا

“Apakah ada bersamamu (hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia berkata: “Ada, saya hafal surat ini dan itu.”

Dalam riwayat Sunan Abu Dawud dan An-Nasa`i dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang kamu hafal dari Al-Qur`an?” Sahabat itu pun menjawab: “Surat Al-Baqarah dan yang berikutnya.”

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan lafadz: “Aku nikahkan dia denganmu dengan engkau ajarkan kepadanya empat atau lima surat dari Kitabullah (sebagai maharnya).”

 Lafadz:

اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Pergilah, telah aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar apa yang ada padamu dari Al-Qur`an.”

Pada riwayat dari jalan Al-Imam Malik rahimahullahu terdapat lafadz:

قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sungguh aku nikahkan engkau dengannya dengan (mahar) Al-Qur`an yang ada padamu.”

Demikian pula pada riwayat Ats-Tsauri yang diriwayatkan Ibnu Majah rahimahullahu dengan lafadz:

قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sungguh aku nikahkan engkau dengannya atas (mahar) Al-Qur`an yang ada padamu.”

Pada riwayat Ats-Tsauri dan Ma’mar yang diriwayatkan Ath-Thabarani rahimahullahu dengan lafadz:

قَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sungguh aku jadikan engkau memilikinya dengan (mahar) Al-Qur`an yang ada padamu.”

Sebagian ulama (Abu Bakr Ar-Razi dari kalangan Hanafiyah dan Ar-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyah) menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa barangsiapa yang berkata: “Nikahkanlah aku dengan fulanah,” kemudian dikatakan kepadanya:

زَوَّجْتُكَهَا بِكَذَا

“Telah aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar demikian dan demikian.” Maka telah cukup yang demikian itu dan calon suami tidak butuh untuk mengatakan: قَبِلْتُ (Aku terima).

Sebagian yang lain menjadikan dalil bolehnya menikahkan dan sah dengan lafadz selain tazwij atau inkah berdasarkan lafadz hadits مَلكْتُكَهَا.

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Meski terdapat sekian lafadz, namun yang nampak bahwa yang diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu dari yang ada. Maka yang benar dalam masalah yang seperti ini adalah memandang kepada yang terkuat. Dan telah dinukil dari Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullahu, bahwa yang benar adalah riwayat yang menyebutkan dengan lafadz: زَوَّجْتُكَهَا karena mereka lebih banyak dan lebih kuat hafalannya.

Ibnul Jauzi rahimahullahu mengkritik bahwa riwayat Abu Ghassan dengan lafadz أَنْكَحْتُكَهَا dan riwayat yang lainnya dengan lafadz زَوَّجْتُكَهَا tidaklah diriwayatkan kecuali dari tiga orang saja. Mereka adalah Ma’mar, Ya’qub, dan Ibnu Abi Hazim. Beliau berkata: “Ma’mar banyak kesalahan dan dua yang lainnya (Ya’qub dan Ibnu Abi Hazim) bukanlah orang yang kuat hafalannya.”

Berkata Al-Hafizh rahimahullahu: “Apa yang dituturkan Ibnul Jauzi rahimahullahu berupa kritikan atas tiga orang rawi tadi terbantah. Lebih-lebih Abdul Aziz bin Abi Hazim, riwayatnya dikuatkan karena beliau meriwayatkan dari orangtuanya. Seseorang yang meriwayatkan dari keluarganya, lebih tahu tentang riwayat tersebut dibandingkan orang lain. Kami telah memilih orang-orang yang meriwayatkan dengan lafadz تَزْوِيج dibandingkan yang meriwayatkan dengan lafadz selain tadi. Lebih-lebih di dalamnya terdapat riwayat para hafizh seperti Al-Imam Malik rahimahullahu, Sufyan bin Uyainah rahimahullahu, dan yang semisal mereka, dengan lafadz أَنْكَحْتُكَهَا.

Ibnu Tin rahimahullahu berkata: “Ahlul hadits telah sepakat bahwa yang benar dalam hal ini adalah riwayat yang menggunakan lafadz زَوَّجْتُكَهَا. Adapun riwayat yang menggunakan lafadz مَلكْتُكَهَا adalah meragukan atau bimbang (وَهْمٌ).

Faedah dari Hadits

Di antara faedah lain yang dapat diambil dari hadits di atas:

 Bolehnya seorang wanita menawarkan diri kepada seorang laki-laki yang shalih agar ia (laki-laki itu) menikahinya.

 Disunnahkan bagi seorang wanita yang meminta dari seorang laki-laki (untuk menikahinya) namun tidak memungkinkan bagi laki-laki tersebut untuk memenuhinya, hendaknya seorang wanita dapat menahan diri (diam) dengan diam yang dapat dipahami oleh seorang yang dimintai hajat. Janganlah membuat laki-laki tersebut malu dari menolak. Tidak sepantasnya dalam meminta disertai dengan terus-menerus mendesak. Termasuk dalam hal ini yaitu meminta dalam urusan dunia dan agama dari seorang ahli ilmu. (Seperti seseorang bertanya kepada ulama setelah selesai menuturkan soal kemudian ulama tersebut diam, maka tidak sepantasnya untuk meminta dengan terus mendesak agar diberikan jawaban, -pen)

 Tidak ada batasan dalam mahar tentang sedikit atau banyaknya.

 Bolehnya menjadikan hafalan Al-Qur`an sebagai mahar dengan cara mengajarkan kepada istrinya.

 Sekufu dalam pernikahan adalah dalam hal status diri apakah ia budak atau merdeka, dalam agama, nasab, dan bukan dalam hal harta. Karena dalam hadits di atas, laki-laki tadi tidak memiliki harta yang ia jadikan sebagai mahar kecuali hafalan Al-Qur`an yang ada padanya. (lihat Fathul Bari 8/250-262, Al-Minhaj, 9/215-217)

 Sebaik-baik mahar dalam pernikahan ialah yang sedikit bebannya kepada suami berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu:

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik nikah ialah yang paling mudah (maharnya).” (Shahih Abu Dawud, no. 2117, Taudhihul Ahkam, 5/311)

Wallahu a‘lam.

1 Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya saya menghibahkan diri saya untukmu.” Namun di sini menggunakan kata ganti orang ketiga “dia”. Ini disebut dengan uslub iltifat. (lihat Al-Fath, 9/206) -ed

0 komentar:

Posting Komentar

(SCRIPT CODE TWO) :
Template by : Dedi Zainullah nasyid-al-ikhwan.blogspot.com